Kompas, Sabtu / 5 April 2008
Bila kita mencari kesamaan antara Alan Greenspan, Warren Buffett, Sumner
Redstone, Kartini Muljadi, dan Emil Salim, maka dengan mudah kita akan
mengatakan bahwa kelima tokoh ini sama-sama berusia 70-an. Kesamaan lain
yang sesungguhnya paling menarik adalah bahwa kesemua tokoh ini masih berada
pada puncak kekuatan intelektual di usia yang tidak bisa dikatakan senja
lagi ini. Berada bersama dengan Emil Salim, kita yang masih muda-muda akan
merasa kikuk karena ketajaman intelektual beliau sangat terlihat ketika
membahas, mengingat-ingat, dan menerangkan suatu isu. Ini menandakan bahwa
beliau masih sangat rajin belajar, meng -"update" pengetahuan dan
beradaptasi. Situasi ini benar-benar bisa mempertanyakan teori tentang
deteriorisasi kecerdasan yang biasanya sudah mulai terjadi mulai usia 45
tahun manusia normal.
Di situasi lain, kita banyak menyaksikan individu yang seolah terlena dengan
deterorisasi intelektualnya dan membiarkan dirinya terjebak pada "kemanjaan"
intelektual, misalnya dalam diskusi-diskusi banyak individu yang tidak
berusaha menyerap apa yang dikatakan orang lain, seolah-olah apa yang
dibicarakan dan terjadi di luar dirinya adalah pengalaman yang tidak
bermanfaat bagi kegiatan berpikirnya. Orang seperti ini tampil sebagai orang
yang keras kepala, malas berpikir, dangkal dan tidak progresif. Bayangkan
bagaimana jadinya kalau hal ini terjadi pada orang-orang yang produktif dan
relatif masih muda ? Dunia ini memang penuh masalah dan kesulitan, untuk
itulah kita perlu melatih kegiatan pikir secara terus menerus, bagaikan cara
berlatih pelari marathon dalam menjaga kebugarannya.
Kebugaran Kognitif Tanggung Jawab Individu
Hal yang umum terjadi pada kita adalah bahwa kita tidak selamanya menyadari
bahwa bukan saja fisik yang harus dijaga kebugarannya, tetapi daya pikir dan
emosi pun perlu dipelihara dan ditumbuhkan. Tidak seperti banyak hal yang
bisa kita serahkan pada asisten, pembantu rumah tangga atau pada bawahan,
mengembangkan, menumbuhkan daya pikir dan menjaga kebugaran mental perlu
kita upayakan sendiri, agar otak tidak kaku dan mampu menanggung beban yang
berat.
Banyak situasi di mana individu tidak menyadari bahwa ia sedang
tidak membugarkan daya pikirnya. Individu yang dalam pernyataannya banyak
menggunakan kata "selalu", "sering" dan mudah men-"cap" orang dengan
kualitas tertentu, bisa dikatakan sedang menggunakan pendekatan "all or
none", alias ekstrim, menggeneralisasikan, menyimpulkan dan meramalkan
terlalu cepat dan sering tidak menyadari bahwa ia menggunakan pendekatan
yang salah. Tak jarang pula kita menemukan individu yang tidak berupaya
mengungkapkan realita dengan tepat, seperti membesar-besarkan angka, tidak
menghafal nama orang lain dengan tepat, sampai tidak memelihara upaya untuk
bersikap obyektif.
Kita juga mudah menemukan paradigma dan ungkapan seperti : "Saya
sudah tua", "Otak sudah tidak kuat", "Telmi (baca : telat mikir)", "
seolah-olah adalah pernyataan "kalah" pada situasi dan keinginan mengatakan
bahwa "Otak saya tidak bugar lagi". Padahal, pikiran positif dan kepedean
bahwa kita kuat sangat berpengaruh pada kebugaran pikiran kita, sementara
para ahlipun berpendapat bahwa bugaran mental mempengaruhi kebugaran fisik
pula. Ahli sejarah berpendapat bahwa usia Winston Churchill sampai 90 tahun
bukan berkorelasi dengan kebiasaan menghisap cerutunya, melainkan
kegemarannya pada informasi.
Pentingnya Hubungan Interpersonal Bagi Kebugaran Mental
Kebugaran mental sebenarnya berasal dari kapasitas dan kebebasan individu
untuk mengelola masalah, emosi, situasi sehari-hari dengan daya pikir yang
benar. Kemampuan menggunakan daya pikir yang benar ini akan berpengaruh pada
kebahagiaan seseorang, sehingga individu akan merasa lebih nyaman, kuat,
bebas dan berani menghadapi realita. Hanya dalam kondisi nyamanlah seseorang
bisa fokus pada keinginan dan baru bisa memanfaatkan pontensi kecerdasannya,
alias IQ-nya untuk pemecahan masalah.
Tidak seperti kebugaran fisik yang sering membutuhkan acara dan alat-alat
khusus, latihan kebugaran mental, untungnya bisa kita lakukan setiap saat,
dimana saja dan dalam situasi apapun. Hal yang mungkin kita tidak sadari
adalah bahwa interaksi dan hubungan interpersonal kita berfungsi memperkuat
"social support" yang merupakan landasan untuk menjaga kebugaran pikiran.
Sepintar dan sehebat apapun kita, bila kita tidak memiliki hubungan
interpersonal yang baik, bisa-bisa kita "end-up" menjadi professor
ling-lung. Karenanya, kita bisa membugarkan pikiran kita dengan sengaja
menumbuhkembangkan hubungan baik, misalnya melakukan silaturahmi, menolong,
aktif berperan dalam organisasi, bercanda dan mengembangkan "sense of
humor", sehingga kita bisa stay positive, merasa "kaya dan kuat" menahan
beban dan menghadapi perubahan.
Lakukan Akrobat Mental dengan Sengaja
Kegiatan mengeksplorasi dalam pikiran sering ditangkap salah oleh sebagian
orang, seolah-olah mengeksplorasi memerlukan waktu khusus dan serius.
Padahal, kita bisa melakukan eksplorasi dalam setiap kegiatan kita, asalkan
kita dengan sengaja menangkap, menyerap, memotret situasi dan menjaganya
untuk berada dalam perspektif yang obyektif.
Disamping sudoku, puzzle dan teka-teki silang yang kita kenal sebagai media
"sport otak" yang baik, kita juga bisa menjaga "ketajaman" otak dengan
meningkatkan rasa ingin tahu dan memberi variasi rangsangan otak. Kegiatan
seperti mematikan telepon, TV, komputer dan melakukan "walk about" di
sekeliling kita bisa memunculkan ide cemerlang. Kita pun bisa membuat
eksperimen-eksperimen kecil, sehingga mental kita mengalami stress yang kita
sengaja. Perubahan beresiko yang dirancang dengan sengaja dan dimonitor
dengan cermat, merupakan "sport mental dan jantung" yang baik. Belajar hal
baru, dilakukan kakak saya yang tiga tahun lalu genap berusia 65 tahun,
dengan memulai tertatih-tatih belajar bahasa Spanyol dari nol. Sekarang ia
sudah menikmati liburannya di Spanyol, terutama karena bisa mengobrol dengan
penduduk di kampung-kampung dan menemukan hal-hal mengejutkan yang tidak ada
di buku-buku.
Kita lihat, kebugaran kognitif ternyata bisa mempengaruhi setiap aspek
kepribadian kita, baik emosi maupun fisik. Bisa kita bayangkan, bila manusia
Indonesia yang mendekati 240 juta jiwa ini mengembangkan kebugaran kognitif.
Bukankah kita bisa menghindari kelesuan, kemalasan dan kebodohan, tanpa
ongkos yang besar ?
Oleh :
Eilleen Rachman & Sylviana Savitri EXPERD
Personal Growth & Soft Skill Training
No comments:
Post a Comment